Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Busyet, Prestasi Pemusik Kalbar

Busyet! (kata orang Betawi). Gara-gara prestasi budak-budak pemusik Kalbar di forum Nasional, membuat saya terpaksa harus dua kali merasa bangga.

Bagaikan singa yang dibangunkan dari tidurnya, mereka langsung mengaum dan memangsa applaus dan decak kagum masyarakat seni, pengamat dan pakar-pakar musik nasional. Paling tidak, oleh dua prestasi prestisius terakhir ini. Pertama, prestasi sebagai Penampil Terbaik dalam even Festival Seni Pertunjukan di Banjarmasin lewat garapan Eksperimentasi Musik Teatrikal Balada Aki-Aki beberapa waktu lalu. Kali keduanya, penampilan dalam Surabaya Full Music III bertajuk Ketika Musik Bicara, 25 Juni 2003, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, lewat komposisi Borneo Rhapsody.

Itulah yang membuat saya terpaksa membuat tulisan ini, hitung-hitung berbagi kebanggaan bersama masyarakat Kalbar karena musik dan pemusik Kalbar pun tak cuma jago kandang serta memaklumatkan kepada kita bahwa seniman juga berperan dan tetap berniat menjaga dan memelihara nama baik dan martabat daerah ini. Bahkan, sebagai sisa kebanggaan yang harus saya tuntaskan, gebrakan budak-budak musik Kalbar ini pun berhasil mengundang naluri kewartawan media nasional sekelas Kompas, lantaran komposisi garapan Borneo Rhapsody “Harmonis dalam Etnis” oleh Gunawan ZM, Paul Putra dan Hamidi ini mengandung daya tarik dan magnet tersendiri. Atau dalam bahasa media, memang layak berita, layak muat dan Insya Allah layak jual. Amin.

Padahal sebelumnya, ketika tim Taman Budaya Kalbar ini melakukan Gladi Bersih menjelang keberangkatan ke Surabaya, saya dengar (kalau salah tolong dibetulkan) Borneo Rhapsody sempat dituding sebagai suatu garapan yang tak nyambung dan tak harmonis. Celakanya, disebut juga tak layak tampil di sebuah kafe (kafe mana yang dimaksud, sayapun tak paham) oleh salah seorang undangan yang hadir untuk dimintai masukan.

Namun, mari sejenak kita menoleh realitas eksistensi seni dan seniman di negeri ini. Kurang apa sih Jakarta ataupun Surabaya, misalnya, dalam soal musik dan bermusik, yang mungkin sampai saat ini, masih ada sebagian kalangan yang menjadikan keduanya sebagai kiblat dan barometer di Tanah Air tercinta yang kini tengah tercabik-cabik ini. Bahkan barangkali di sana setiap hari lahir jago-jago, pakar dan sarjana-sarjana seni (musik), sehingga masyarakat seni pun dapat terbentuk dan terbina.

Bila dibandingkan dengan realitas di kampung halamanku, Kalbar ini, jangankan masyarakat seni, masyarakat tari, masyarakat teater, masyarakat musik ataupun masyarakat seni rupa saja masih jauh panggang dari api. Belum lagi bila disebut kritikus seni, rasa-rasanya (semoga saja salah) pun masih belum terlahirkan. Lalu, bagaimana dengan kaum akademisi, elite alias pejabat negeri Zamrud Khatulistiwa ini? Wah, mereka yang benar-benar peduli, paling tidak mengapresiasi seni lewat menonton pertunjukan seni saja, agaknya (semoga salah lagi) masih belum cukup hitungan sebelah tangan.

Namun, anehnya, mereka-mereka ini, terutama para pejabat daerahnya, barangkali karena didorong oleh rasa kesadaran yang tinggi untuk setor muka, setor tampang dan setor lidah, tiba-tiba saja berduyun-duyun memadati gedung pertunjukan, sebut saja misalnya di Taman Budaya Kalbar, kalau seniman yang datang itu dari Jakarta atau luar negeri, seperti dari Sarawak dan Malaysia tempo-tempo hari. Mungkin, hitung-hitung untuk buang malu alias karena khawatir takut dibilang tak punya apresiasi seni. Entahlah!

Anehnya lagi, entah dari siapa dan darimana mereka tahu akan kedatangan tamu-tamu itu. Padahal, setiap kali ada pertunjukan seni oleh seniman-seniman daerah ini, batang hidung mereka pun tak kelihatan. Apa kurang lebih besarkah baliho yang terpampang jauh hari sebelum pertunjukan di Taman Budaya, di Jalan A. Yani yang menjadi jalur lintasan para pejabat elite di daerah ini? “O, mereka kan pake mobil, laju dan tertutup kaca rayben, mana mungkin baliho kelihatan!”

Busyet! Kalau begitu, mungkin juga balihonya yang salah pasang, asal pasang atau terlalu warna-warni atau terlalu meriah atau masih kurang lebih besar? Busyet! Kalok begitu, saya tambah penasaran. Pasti ada yang salah ini, apakah salah langkah atau salah urus. Ada solusi untuk ini?

Busyet! Barangkali ini pula yang membuat kaum berduit dan para elite daerah ini enggan peduli dan mendukung para seniman di daerahnya sendiri, sehingga lebih senang terbang ke luar untuk berakhir pekan menikmati sajian-sajian dan pertunjukan di hotel-hotel berbintang dan kafe-kafe elite di sana –happy-happy sambil lobi, apalagi “Ketika Musim Suksesi Tiba”.

Busyet! Apakah dengan begini seniman-seniman daerah ini akan dan akan terus dipinggirkan dan terpinggirkan, meskipun secara de facto dan de jure mereka telah berprestasi dan berhasil membawa dan menjaga nama baik dan martabat Kalbar, baik di forum nasional maupun mancanegara? Tidak kalah dengan bidang yang lain, olahraga, misalnya.

Padahal, sampai detik ini, paling tidak di Republik ini, belum ada seni dan seniman sejati yang berniat menggulingkan pemerintahannya, menciptakan pertikaian dan perang serta aktivitas-aktivitas yang meresahkan dan mengorbankan rakyatnya, kecuali sebagai lem perekat atas setiap disintegrasi bangsa, etnis, ras dan sebagainya. Istilahnya, habis perang baru mencari seniman atau budayawan untuk ngomong. Yang berkuasa dan bersenjata entah ke mana?

Lalu, apa ada yang salah dengan seni dan seniman? Apakah posisi seniman, seperti yang masih dianggapkan masyarakat hanya sebagai alamat segala ketidakberesan, terutama yang terlihat pada cara hidup kebanyakan ABG dan remaja kita, sehingga, entah dapat referensi dan belajar darimana seorang Kepala Dinas Pendidikan Kota Pontianak, dalam sebuah acara Gelar Seni Pelajar di Taman Budaya Kalbar, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa anak-anak (pelajar) jangan diajarkan kesenian, nanti jadi senewen.

Busyet! Kalau begitu, demi mengukuhkan eksistensi dan harga diri, seniman-seniman daerah ini harus segera berbuat sedemikian rupa sehingga perlu berdialog dan membahas segala sesuatunya, baik oleh sesama seniman, seniman dan publiknya, seniman dan media massa, seniman dan pemerintah, dan sebagainya, dan sebagainya.

Ketika kita bercita-cita ingin membina dan menciptakan perdamaian serta character building (kontras dengan hasil pembinaan olahraga, misalnya, yang masih gemar berkelahi di layar TV bahkan wakil rakyatpun tak mau ketinggalan), maka tugas ini tak sepantasnya hanya menjadi kewajiban seniman.

Segenap potensi dan elemen bangsa dan negeri ini harus bersinergi dan berangkul tangan. Bagaimana? Siapkah kita bersikap tulus membangun negeri ini serta bersama-sama menjalin kembali butir-butir zamrud yang tercerabut dari leher Enggang Khatulistiwa ini? Kapan kita mulai?

Penulis adalah Penggagas dan Pendiri Komunitas Lesehan Pontianak (Klepon)
LANJUT BEB..
E
D
O
Copyright @ 2009
Edo Pradana Prasitha.
All Right Reserved