Situs ini untuk menyimpan semua karya dan apa saja yang mengisi lembaran hidupku yang MENGALUN, MERIAK, dan MENGALIR bagai AIR. Mari kita saling berbagi demi pemajuan peradaban di muka bumi. Mungkin kita tak bisa mengubah apa-apa, tapi setidaknya kita sudah BERBUAT dan BERKARYA walau hanya SETITIK DEBU DI HAMPAR GURUN atau cuma SEBUIH AIR DI LUAS SAMUDERA!

Festival Langsat, Solusi PKL

SAMPAI hari ini, kita muak dengan perilaku Pemerintah Kota Pontianak (Pemkot) yang tak pernah selesai-selesai dan terkesan tak tahu cara menata para pedagang kaki lima (PKL) 'sektor perbuahan', fokusnya di sepanjang jalur protokol Jalan A. Yani, secara bijak, manusiawi, dan solutif.


Segala kebijakan dan cara yang ditempuh, dengan alasan demi keindahan dan penataan kota, sekaligus mempertontonkan kebodohan diri sendiri karena justru akibatnya blunder yang didapat; wibawa pemerintah runtuh seketika, segala macam ancaman dan butir-butir sanksi hanya menjadi angin lalu yang justru menjadi pemicu retaknya harmonisasi antara pemerintah dan rakyatnya sendiri.

Hal ini sangat-sangat tidak sehat bila dikaitkan dengan upaya Pemkot mengukuhkan dirinya sebagai kota perdagangan yang bertaraf internasional dan memenuhi target jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Khatulistiwa ini, misalnya.

Kenapa para PKL terkesan bandel dan cenderung melawan serta berani main kucing-kucingan terhadap Pemkot dan kebijakannya, yang pasti di balik itu sesungguhnya diniatkan untuk membangun kota tercinta ini? Salah satunya, karena kebijakan Pemkot sendiri tidak akomodatif-solutif (istilah penulis) -untuk tidak mengatakan banci-sehingga di pihak lain para PKL menganggap kebijakan tersebut tidak berpihak kepada aspirasi dan kepentingan mereka.

Taruh saja ketika sebuah kebijakan tentang penataan PKL itu, sebutlah sebagai 'Perda Penataan PKL Perbuahan', digodok dan dilahirkan dengan hampiran alias pendekatan empatik, maka sekalipun tanpa melibatkan PKL sendiri secara langsung dalam memprosesnya, penulis berkeyakinan kebijakan tersebut akan memiliki roh dan kontak batin ketika sampai kepada para PKL sehingga tak ada alasan bagi mereka untuk merasa tersinggung, terabaikan peran-serta politisnya, apalagi harus merasa dilecehkan, karena pemerintahnya, abdi negaranya, pelayan masyarakatnya telah dianggap seperti mewakili diri mereka sendiri; yang bertungkus lumus dari mulai menanam, memelihara, sampai dengan tibanya musim panen buah dan menjualnya dengan harapan mendapatkan keuntungan demi kesejahteraan sekian banyak perut dalam keluarga masing-masing PKL. Di samping itu, tentu secara realitas masih ada saja sebagian individu PKL yang memang tak berniat dan beritikad baik untuk mendukung kebijakan pemerintahnya, padahal kebijakan itu, misalnya, betul-betul telah berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyatnya.

Jadi, taruh saja (lagi), penulis menawarkan solusi soal penataan para PKL sektor perbuahan ini, seperti rambutan, durian, jeruk, dan sebagainya dengan format sebuah festival, yang mungkin bisa dijadikan Calendar of Event Kantor/ Dinas Pariwisata Kota Pontianak, sebut saja Festival Langsat se-(Jalan A. Yani) Kota Pontianak (sekadar istilah), selama musim buah tersebut berlangsung, misalnya satu, dua atau bahkan tiga bulan. Maka jauh hari sebelum musim buah (langsat) tiba, Pemkot telah mempersiapkan 'segala sesuatunya' mengenai festival ini, termasuk di dalamnya rumusan kriteria dan perangkat-perangkat penilaiannya.

Konkretnya, butir-butir kriteria dan penilaian itu, antara lain konstruksi lapak/ stand buah harus sistem knockdown (jadi mudah dibongkar saat musim/ stok buah menyurut-selesai). Sedangkan aspek penilaiannya, misalnya meliputi aspek artistik dan arsitektur khas stand, lighting/ penerangan (saat malam hari), kualitas buah (menjaga imej dan kredibilitas pedagang sendiri), kebersihan lingkungan stand (termasuk mengingatkan konsumennya untuk tidak membuang sampah sembarangan), tertib lalu lintas (mengatur perhentian konsumen yang berkendaraan sehingga tidak mengganggu pengguna jalan lainnya), keramahtamahan pedagang (saat melayani konsumen), dan aspek-aspek lain yang memungkinkan untuk menciptakan kesan tertib, meriah dan maraknya sebuah festival.

Namun, sebelumnya (bisa jadi sebagai upaya membangun harmonisasi dan keakraban antara pemerintah dan PKL) dilaksanakan seremonial pembukaan yang dilakukan oleh Walikota beserta jajarannya ditambah para undangan Pemkot, termasuk wisatawan-wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Teknis untuk festival dan segala aspek ikutannya, jangan dilupakan pula untuk memberdayakan dan melibatkan unsur seniman Kota Pontianak sendiri.

Nah, kira-kira apa yang terbayangkan? Rasanya, semua tergantung dari kemauan semua pihak untuk mengarifinya masing-masing. Mau memulai atau tidak? Yang jelas, semua ini tetap dalam kerangka untuk mencari solusi demi menyelesaikan substansi masalah, problem, dan segala persoalan yang dihadapi. Tegasnya, mengatasi masalah per-PKL-an tanpa meruntuhkan wibawa Pemkot sendiri. Istilahnya, win-win solution.

Kalau sudah begini, semua pihak dapat bernapas lega. Selesai dari (musim) festival ini, tidak ada lagi satupun PKL yang diperbolehkan melakukan kegiatan di jalan-jalan protokol atau di lokasi yang dilarang. Kalau masih ada yang membandel, tindak saja dengan tegas tanpa takut terbebani melanggar HAM dan sebangsanya. Bagaimana? (Penulis adalah Pengamat Seni Budaya dan Kepariwisataan)
PontianakPost, Selasa, 3 Mei 2005


LANJUT BEB..

Kamar 9 B

Entah siapa yang memulai. Lima kepala telah mengambil posisi. Satu persatu mulai menyatakan diri. Seorang darinya mengangkangi logika-logika. Seorang lainnya melepaskan embel-embel konvensi. Setiap diri beranjak memproklamirkan identitas. Semuanya mengukuhkan diri sebagai kepala berwatak pendobrak di tengah-tengah keramaian normatika.

Semua percaya pada visi masing-masing. Setiap mereka percaya bahwa pendobrakan hari ini akan sanggup menjebol benteng kemapanan kemarin. Mereka yakin bahwa masa depan akan tergenggam di telapak tangan keteguhan. Setiap diri yakin seyakin-yakinnya bahwa dengan menjebol dinding kiri konvensi berarti meruntuhkan dinding kanannya sekaligus. Sejak itu, merdekalah segalanya dari segala kemerdekaan yang terbelenggu kemapanan kulit kacang.

Atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk ini tak mampu lagi membendung tiap maksud dan segala sesuatu yang berseliweran. Segala realita singgah di pelupuk mata. Terhenti sekejap. Saling menatap. Sunyi. Senyap. Pengap. Tiba-tiba segalanya terungkap. Kepala demi kepalapun membentangwujudkan jatidiri.

“Aku tak ingin jadi epigon sebab aku lebih mulia daripada bebek-bebek.”

Sekepul asap dari sebatang kretek melesat dengan penuh keyakinan. Mengalahkan tebalnya empat kali empat meter dinding bujur sangkar yang melingkupi.

Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Sebisu angin malam di luar jendela. Cahaya bulan-setengah tampak malu-malu menempel di bingkai-bingkai kaca empat perseginya.

“Dalam otak matematisku, tersembul digit-digit kepastian. Satu langkah sama dengan sekian kali sekian. Perlawanan mesti dimulai dan harus berjalan dengan konsisten menuju puncaknya.”

Kamar dingin. Sedingin dinding-dindingnya yang dimesrai embun malam yang merayap menyapa dinihari. Lingkar cahaya bulan semakin menepi mengikut hasrat rotasi mengecup bibir cakrawala. Asap makin menyesak paru-paru, legam dilumuti kental nikotin.

“Inspirasiku yang tergantung di awang-awang melambai-lambai mesra. Tak hendak berhenti. Selalu menggebu-gebu ingin disetubuhi. Jari-jemari tinggal memetik satu demi satu.”

Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini terlemparkan ke atas ranjang. Biarlah ia terbuai bersama sekeringnya keringat di sekujur tubuh. Berbaurnya antara kepenatan dan kebuaian mesra itu. Tak pula ternafikan menegangnya persendian dan sekumpulan urat-urat.

Keliaran imaji itu tertangkap juga. Keliaran imajinasi selalu minta dilayani begitu anak kunci orgasmenya memutar mencari wadah pelampiasan. Akumulasi segala yang terlintas dan terlisankan telah terjinakkan.

Lembar-lembar waktu berlalu tak dihasrati hanya berisi kekosongan. Betapa kesedihan diri ketika terbentur pada kekosongan. Kehampaan di tengah-tengah riuh rendah keramaian. Betapa berharganya sekelumit imaji. Sangat tak sebanding dengan perlakuan angkuh yang menyelimuti diri. Ruang gerak imajinasi mesti diberikan keleluasaan.

“Hasil adalah masa depan. Karya adalah bayi manis yang mungil atas setiap eksistensi. Bukan eksistensi yang utopis yang merangkak pada ketinggian yang ujung-ujungnya bermuara takut digumpal kecemasan paling cemas akan kejatuhan. Eksistensi utopis berwajah retorik tak lebih abadi daripada selembar kekenyangan seekor nyamuk rakus, menghisap darah mangsanya, buncit, sayappun lunglai dan jatuh bergedebung pada sekotak lantai tegel putih.”

Kepenatan yang terangkum dalam perjalanan satu hari ini kian terasa menuju kelegaan. Keringnya keringat di sekujur tubuh kian terasa bermakna. Ketegangan persendian bergulir melancarkan arus relaksasi. Hanya kepulan asap yang enggan meninggalkan ruang.

“Kehilangan kecerdasan memulai kalimat pertama adalah malapetaka besar bagi kelanggengan eksistensi. Setelah itu, jangan bermimpi mendaki gunung. Jangan berkhayal merekamkan kalimat abadi. Jangan mengigau bahwa besok pagi tersembul matahari.”

“Ya, malapetaka itu adalah malapetaka bersama. Malapetaka bagi yang berniat jadi pengabdi dan pelaksana kata-kata. Malapetaka bagi pengabadi sejarah. Malapetaka bagi malapetaka negeri yang mengabaikan kata-kata. Malapetaka bagi malapetaka bagi rakyat dan pemimpinnya yang mengabaikan sejarah.”

“Kita harus mendobrak dinding kebekuan. Negeri ini harus melek dari segala huruf. Segala kata-kata. Segala sejarah. Kita harus lebih gencar mencanangkan aksi pembacaan. Harus memelekkan diri dari segala keterpurukan di depan mata. Harus memelekkan hati bahwa belajar dari kesalahan adalah lebih mulia daripada masuk ke lubang dua kali bagai keledai tanpa kendali.”

Kepulan asap ternyata semakin berkontribusi memicu metabolisme adrenalin lima kepala di kamar empat persegi itu. Seorang demi seorang kian mengurai logika dan retorika. Tergambar upaya melepas diri dari keterkungkungan masing-masing ego-diri.

“Inilah konsekuensi eksistensi. Konsekuensi untuk memberikan kontribusi tanpa pamrih. Pamrih epigonis. Pamrih utopis. Pamrih oportunis. Koreksi atas kesalahan pemahaman dan faham mesti dilancarkan.“

Entah siapa yang memulai mengakhiri perbincangan. Tak ada negosiasi. Tak ada reaksi perlawanan. Hening. Bisu. Tetap sebisu angin malam di luar jendela. Setemaram cahaya bulan-setengah yang masih tampak malu-malu dilingkup awan mendung.

Hanya atmosfir Kamar 9 B berkepulan asap sigaret berbagai merk yang kini sedikit merasa lega. Kamar bujur sangkar ini kini baru mulai sempat menghirup keleluasaan dan kelegaan. Bendungan tiap maksud dari lima kepala itu kini perlahan-lahan merembeskan udara segar senapas dengan antiklimaks adrenalin mereka.

Kini yang tinggal hanya Kamar 9B bertemankan keheningan. Kebisuan. Kesunyian. Dialah yang akan menjadi saksi perjalanan para pengabdi dan pelaksana kata-kata yang kini tengah asyik terbuai mimpinya sendiri-sendiri. Esok siang mereka akan menyaksikan mataharinya dan kembali bertarung dengan realitas di negeri setriliun janji dan retorika. Entah siapa yang memulai. Namun, konsekuensi harus dilancarkan. (*)
LANJUT BEB..

dari bilik 13 sebuah warnet

(kepada asahan sabit)

berjalanlah terus dalam kesadaran samudera ketidaktahuan
hingga pada akhirnya terjerat pada satu persinggahan
bahwa sehelai kesadaran ketidaktahuan adalah
titik balik pembuka muara kecerahan
berjalanlah terus
berjalanlah terus
hingga titik balik
hingga titik tempuh
dan persinggahan
di mulut muara
cakrawala
cerah
surya
tanah
airnya
kun

pontianak, 09 jan 2005 02.05 wib LANJUT BEB..
E
D
O
Copyright @ 2009
Edo Pradana Prasitha.
All Right Reserved